Sorotan Redaksi Warta Satu
Sungai Penuh, Warta Satu — Sepuluh tahun pelaksanaan Dana Desa seolah berjalan tanpa hambatan berarti. Namun, di balik laporan yang tampak mulus, sesungguhnya tersimpan berbagai persoalan mendasar dalam pengelolaan dana tersebut.
Praktik laporan fiktif, penggelembungan anggaran, hingga tindak pidana korupsi Dana Desa kini bukan lagi hal yang asing. Laporan keuangan yang disusun oleh pemerintah desa kerap kali hanya diuji dari sisi administrasi, tanpa verifikasi lapangan yang memadai. Padahal, kecocokan antara dokumen pelaporan dan realisasi di lapangan sangat penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.
Inspektorat sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) memiliki peran sentral dalam memastikan pengelolaan Dana Desa berjalan sesuai ketentuan. Namun, selama ini fungsi tersebut belum dijalankan secara optimal. Pengawasan kerap bersifat reaktif — dilakukan setelah muncul dugaan penyimpangan — dan terbatas pada uji petik dokumen administrasi, bukan hasil audit menyeluruh berbasis kondisi lapangan.
Pemda maupun Pemkot perlu memastikan Inspektorat memiliki sumber daya yang memadai, pendampingan yang berkelanjutan terhadap desa, serta sistem evaluasi berkala terhadap kinerja kepala desa. Keberhasilan pembangunan desa bahkan sepatutnya dijadikan indikator kinerja pemerintah kecamatan dan kabupaten.
Salah satu persoalan krusial adalah sistem pengawasan yang lemah dan memungkinkan laporan fiktif untuk lolos. Sebagai contoh, keabsahan kwitansi pembelanjaan tidak cukup hanya diperiksa secara administratif — seperti keberadaan tanda tangan atau stempel — tetapi juga harus diverifikasi melalui pengecekan langsung terhadap keberadaan material atau jasa yang dilaporkan.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa penyimpangan Dana Desa tidak hanya melibatkan kepala desa dan perangkatnya. Aktor lain seperti kontraktor, pegawai kecamatan, hingga ASN di tingkat kabupaten maupun Kota pun kerap ikut bermain. Namun sayangnya, penegakan hukum selama ini lebih banyak menyasar kepala desa, yang dalam hierarki politik merupakan pihak terlemah. Saat kepala desa terseret kasus korupsi, para pejabat di level atas — termasuk kepala daerah dan Inspektorat — justru kerap berupaya melepaskan diri dari tanggung jawab.
Inspektorat seharusnya menjadi garda terdepan dalam mencegah penyimpangan, bukan sekadar bertindak saat masalah telah mencuat. Di saat kepala desa telah diberi pendampingan namun tetap melakukan pelanggaran, penindakan hukum menjadi langkah terakhir yang tidak boleh ragu diambil.
Selain pengawasan administratif, pelibatan masyarakat juga perlu diperkuat melalui sistem monitoring dan evaluasi berbasis partisipatif. Transparansi informasi dan akses publik terhadap laporan keuangan desa harus dijamin sebagai bentuk kontrol sosial.
Khususnya di Kabupaten Kerinci maupun Kot Sungaipenuh, muncul pertanyaan mendasar: Apakah Inspektorat sebagai APIP telah menjalankan tugas pengawasan secara maksimal? Indikasi yang muncul menunjukkan pengawasan masih bersifat administratif, tanpa check and recheck yang semestinya menjadi bagian penting dari fungsi pengawasan.
Inspektorat harus berani bersikap objektif dan tegas dalam menjalankan tugas dan fungsinya:
“Katakan benar pada yang benar, katakan salah pada yang salah.”
0 Komentar