Sungai Penuh, Warta Satu – Rapat dengar pendapat (hearing) antara pelaku usaha, pihak Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan DPRD Kota Sungai Penuh yang digelar di Aula DPRD, Rabu (28/5/2025), berakhir dengan kekecewaan. Baik pelaku usaha maupun sejumlah anggota Dewan menilai sikap perwakilan BRI tidak menunjukkan empati dan kurang beretika dalam menyampaikan tanggapan.
Dalam forum tersebut, sejumlah pelaku usaha menyampaikan permintaan keringanan terhadap kewajiban kredit yang macet akibat kondisi ekonomi yang sulit dan merosotnya daya beli masyarakat. Mereka berharap ada solusi dari pihak bank, seperti penangguhan angsuran, hingga kemungkinan penghapusan utang berdasarkan regulasi pemerintah.
Namun, harapan tersebut dijawab secara mengejutkan oleh Kepala Bagian Pelelangan BRI, Indra Bekti. Ia menyatakan bahwa jika para debitur tidak terima dengan kebijakan yang ada, mereka dipersilakan menempuh jalur hukum. Pernyataan tersebut sontak menuai reaksi dari pelaku usaha maupun anggota DPRD yang hadir.
Tak hanya itu, ketika anggota DPRD Fahruddin menyinggung Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang penghapusan piutang macet, Indra Bekti justru menyarankan agar Fahruddin datang langsung ke kantor BRI untuk memotret barcode yang berisi informasi regulasi tersebut. Ucapan ini dinilai tidak pantas disampaikan dalam forum resmi yang melibatkan wakil rakyat dan masyarakat.
Menanggapi hal ini, praktisi hukum Kuniadi Aris menyayangkan sikap yang ditunjukkan oleh pihak BRI dalam pertemuan tersebut.
"Pernyataan saudara Indra Bekti sangat tidak etis, apalagi disampaikan di hadapan anggota Dewan. Saat pelaku usaha menyampaikan keluhan soal kredit macet, justru disarankan untuk membawa ke pengadilan. Itu bukan jawaban yang bijak," ujar Kuniadi.
"Begitu juga ketika ditanya soal PP Nomor 47 Tahun 2024, ia hanya menyuruh memfoto barcode di kantor BRI. Seharusnya, jika tidak tahu isinya, cukup katakan belum memahami dan akan memberikan penjelasan di lain waktu. Itu akan jauh lebih sopan," tambahnya.
Sebagai informasi, berdasarkan PP Nomor 47 Tahun 2024, penghapusan utang atau piutang macet dimungkinkan jika memenuhi sejumlah kriteria, di antaranya: nilai pokok utang tidak lebih dari Rp500 juta per debitur, telah dihapusbukukan minimal lima tahun, serta tidak dijamin oleh asuransi atau lembaga penjaminan. Penghapusan juga berlaku terhadap piutang dari program pemerintah yang telah dinyatakan selesai.
0 Komentar