Oleh KURNIADI ARIS, SH.MH.MM
(Ketua Majlis Hukum Muhammdiyah Kota Sungai Penuh / Pengacara / Dosen IAIN Kerinci)
Sungaipenuh, Warta Satu - Pembahasan mengenai warisan kerap kali menjadi isu krusial di tengah masyarakat. Istilah waris dan warisan tentu bukan hal yang asing, namun pemahaman masyarakat terkait tata cara dan dasar hukum pembagiannya masih kerap menimbulkan kebingungan. Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum pluralistik memiliki tiga sistem hukum yang dapat dijadikan acuan dalam pembagian warisan, yakni Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Ketiga sistem hukum ini diakui sebagai hukum positif dan memiliki kekuatan mengikat secara legal.
Tiga Sistem Hukum dalam Pembagian Warisan
Hukum Perdata
Hukum Perdata, khususnya yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), mengatur pembagian warisan bagi warga negara Indonesia yang tidak beragama Islam. Sistem ini didasarkan pada prinsip-prinsip waris Barat dan bersifat individualistik. Namun, karena mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, penerapan hukum ini dalam praktik pembagian warisan cenderung terbatas dan hanya digunakan dalam komunitas non-Muslim.
Hukum Islam
Hukum Islam memiliki peraturan yang sangat rinci mengenai pembagian warisan, sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an, Hadis, dan pendapat para ulama. Hukum ini menekankan asas keadilan proporsional dan memperhatikan hubungan darah serta kewajiban antar keluarga. Ketentuan hukum waris Islam juga telah mendapat penguatan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolut dalam menangani perkara waris bagi umat Islam (Pasal 49 huruf b).
Hukum Adat
Hukum Adat berlaku secara lokal dan kontekstual, mengikuti kebiasaan masyarakat setempat. Di berbagai daerah, seperti Minangkabau, hukum adat bahkan memiliki sistem pewarisan yang khas, seperti sistem matrilineal. Hukum ini tetap eksis karena masih dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat adat, meskipun pada beberapa titik bisa terjadi tumpang tindih atau konflik norma dengan hukum Islam maupun Perdata.
Menyelesaikan Konflik Hukum: Tantangan di Lapangan
Salah satu permasalahan utama dalam pembagian warisan adalah ketika lebih dari satu sistem hukum dapat diterapkan terhadap satu objek waris. Hal ini kerap menimbulkan friksi di antara ahli waris, terutama jika tidak ada kesepakatan mengenai sistem hukum mana yang akan digunakan. Contohnya, dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi adat, seperti Minangkabau, muncul pertanyaan apakah warisan harus dibagi secara adat atau mengikuti ketentuan hukum Islam.
Minangkabau memiliki falsafah hidup yang sangat terkenal, yaitu: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, syarak mangato adat mamakai." Falsafah ini menegaskan bahwa adat berlandaskan pada ajaran agama Islam. Oleh karena itu, pembagian warisan di masyarakat Minangkabau idealnya mendahulukan hukum Islam, selama tidak bertentangan dengan prinsip adat yang telah mengakar.
Namun, perlu dibedakan antara dua jenis warisan dalam adat Minangkabau, yakni pusaka tinggi dan pusaka rendah. Pusaka tinggi adalah harta pusaka yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian dari identitas serta kelangsungan kaum, sehingga tidak dibagi-bagikan. Sedangkan pusaka rendah adalah harta milik pribadi pewaris yang bisa dibagi berdasarkan ketentuan hukum waris, baik secara adat maupun Islam.
Prinsip Pembayaran Utang Sebelum Pembagian Warisan
Dalam Islam dan sistem hukum lainnya, terdapat prinsip universal bahwa utang pewaris harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum warisan dibagi. Hal ini sejalan dengan nilai moral dan tanggung jawab sosial yang mengedepankan penyelesaian kewajiban atas nama pewaris. Pembagian warisan hanya dilakukan setelah semua kewajiban tersebut dilunasi.
Penutup
Pluralitas sistem hukum di Indonesia memberikan fleksibilitas dalam pelaksanaan pembagian warisan, namun juga menimbulkan tantangan tersendiri. Diperlukan pemahaman mendalam dan komunikasi yang baik antar ahli waris agar tidak terjadi konflik dalam penerapannya. Ketegasan dalam memilih sistem hukum yang digunakan, kesepakatan keluarga, serta konsultasi dengan pihak berwenang seperti Pengadilan Agama atau tokoh adat sangat penting demi terciptanya pembagian warisan yang adil dan tidak merugikan pihak mana pun.
0 Komentar