Jambi, Warta Satu – Sidang lanjutan perkara tindak pidana korupsi pembangunan Stadion Mini Sungai Bungkal kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jambi, Senin (14/7/2025). Agenda persidangan kali ini adalah pemeriksaan saksi a de charge (saksi meringankan) dan ahli yang diajukan oleh pihak Terdakwa.
Dalam sidang tersebut, Terdakwa menghadirkan saksi Hanita Anggun Patria, mantan bendahara Dispora Kota Sungai Penuh tahun 2022. Dalam keterangannya, Hanita yang akrab disapa Nia menyatakan bahwa dirinya mengetahui proses pekerjaan proyek karena saat itu menjabat sebagai bendahara pengeluaran.
Nia menjelaskan bahwa pencairan dana proyek dilakukan dua tahap, yakni termin 30% dan 100%. Pada pencairan tahap pertama, semua administrasi dinyatakan lengkap. Prosedur pencairan dimulai dari permohonan pelaksana proyek yang diajukan ke bagian umum, kemudian dilanjutkan ke Kepala Bidang Olahraga, Kadispora, lalu didisposisikan ke PPTK dan diteruskan ke bendahara. Setelah itu, bendahara menerbitkan SPP (Surat Permintaan Pembayaran) dan SPM (Surat Perintah Membayar), yang kemudian diverifikasi oleh PPK dan PPK Keuangan sebelum dikirim ke Badan Keuangan Daerah (Bakeuda) untuk diterbitkan SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana).
Terjadi perdebatan dalam persidangan mengenai siapa yang berwenang menyerahkan SP2D. Jaksa Penuntut Umum (JPU) berpandangan bahwa tugas tersebut berada di tangan bendahara, pandangan yang sempat diamini oleh Majelis Hakim. Namun, kuasa hukum Terdakwa, Viktorianus Gulo, S.H., M.H., menegaskan bahwa sesuai prosedur, SP2D diterbitkan dan diserahkan oleh Bakeuda. Hal ini kemudian diklarifikasi oleh saksi, yang menyatakan secara tegas bahwa dirinya tidak memiliki kewenangan atas penerbitan SP2D. “Iya, Yang Mulia, SP2D diserahkan oleh Bakeuda kepada pelaksana untuk dicairkan di bank,” tegas Nia.
Selanjutnya, ahli yang dihadirkan oleh Terdakwa, yakni Guru Besar Hukum Universitas Jambi, Prof. Dr. Usman, S.H., M.H., memberikan pandangan hukum atas dakwaan JPU. Ia menilai bahwa unsur “secara bersama-sama melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan” harus disertai bukti adanya kesepakatan dan kesadaran bersama untuk melakukan tindak pidana. Dalam konteks ini, Prof. Usman menyatakan bahwa Terdakwa selaku Pengguna Anggaran tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika tidak terlibat langsung dalam perbuatan pidana tersebut.
“Jika tindak pidana secara nyata dilakukan oleh pihak lain seperti PPK, tim teknis, pelaksana, atau konsultan pengawas, maka mereka lah yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban pidana,” jelasnya. Ia juga menekankan pentingnya pembuktian materiil, bukan hanya formal, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016. “Penandatanganan kontrak oleh Pengguna Anggaran hanyalah bagian dari proses administratif dan tidak serta-merta menunjukkan keterlibatan dalam tindak pidana,” lanjutnya.
Di akhir keterangannya, Prof. Usman menyampaikan imbauan kepada JPU agar objektif dalam menangani perkara. “Jika tidak ditemukan perbuatan melawan hukum, maka Jaksa jangan gengsi untuk menuntut bebas,” ujarnya.
Menanggapi pertanyaan dari Majelis Hakim, ahli juga menegaskan bahwa jika tidak ada perbuatan melawan hukum dalam perkara tersebut, maka Terdakwa wajib dibebaskan. Menariknya, saat Terdakwa bertanya tentang status pidana apabila kerugian negara yang ditemukan BPK telah dikembalikan, ahli menjawab bahwa tujuan utama dari hukum tindak pidana korupsi adalah pemulihan kerugian negara. “Jika kerugian negara telah dikembalikan, maka tidak ada lagi alasan untuk melanjutkan penuntutan secara pidana,” tegasnya.
Sidang akan dilanjutkan dengan agenda pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum.
0 Komentar