Dalam dokumen RKA-SKPD 2023, Dinas Perhubungan melalui Plt. Kepala Dinas, Ahmad Samuil, hanya mengajukan Rp476.591.500 untuk belanja komponen rambu-rambu PJU. Namun, angka ini melonjak drastis dalam DPA Murni tahun 2023 menjadi Rp3.457.844.250. Kenaikan makin signifikan ketika Heri Cipta mengajukan RKA Perubahan 2023 dengan tambahan Rp2.131.046.115. Akhirnya, pagu anggaran PJU membengkak hingga Rp5.588.890.965 — naik Rp5.112.299.465 dari usulan semula.
Pertanyaan kritis pun muncul: mengapa kenaikan ini begitu fantastis, dan siapa sesungguhnya yang mendorongnya? Jawabannya terselip dalam dinamika Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kabupaten Kerinci Tahun 2023. Dari berbagai informasi, lonjakan ini didorong oleh adanya intervensi politik yang difasilitasi oleh Sekretaris Dewan, Jondri Ali.
Dalam posisinya, Sekwan menjadi penghubung antara DPRD, Kepala Dinas, dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Kerinci. Pesan yang disampaikan sederhana namun penuh makna: “pimpinan dewan meminta agar Dinas Perhubungan membantu melaksanakan pokok-pokok pikiran mereka, terutama terkait PJU.”
Dengan demikian, posisi Sekwan bukan lagi sekadar administratif. Ia bertransformasi menjadi aktor kunci dalam rekayasa anggaran, inisiator yang memastikan kepentingan politik terakomodasi melalui proyek PJU. Lebih jauh, sejumlah anggota DPRD seperti Edminudin, Boy Edwar, dan Yuldi Helman disebut ikut aktif mengawal agar pokok pikirannya benar-benar masuk dalam DPA Murni maupun Perubahan.
Dalihnya adalah aspirasi masyarakat desa. Namun, jika aspirasi tersebut bermuara pada pembengkakan anggaran yang tidak wajar, maka patut dipertanyakan apakah itu benar-benar kebutuhan rakyat atau justru kepentingan politik.
Keterlibatan berbagai pihak dalam skema ini menguatkan tesis bahwa dana siluman bukan sekadar praktik individual, tetapi sistemik. DPRD yang seharusnya menjadi pengawas justru ikut serta dalam mengarahkan. Eksekutif yang seharusnya fokus pada perencanaan malah larut dalam kompromi politik. Sementara Sekwan, yang seharusnya menjalankan fungsi administratif, justru menjadi inisiator penghubung kepentingan.
Hasil dari kompromi tersebut telah menunjukkan potensi kerugian negara mencapai lebih dari Rp2,7 miliar, dan terdapat 10 tersangka yang telah ditetapkan. Namun, hingga kini masih menyisakan satu pertanyaan besar: bagaimana status Jondri Ali dan anggota DPRD yang disebut ikut bermain di balik proyek ini? Apakah Kejari Sungai Penuh akan tetap bungkam untuk menindak tegas mereka?
Ketua LSM Semut Merah, Aldi, menegaskan bahwa Kejaksaan tidak boleh tebang pilih.
“Kasus ini sudah sangat terang benderang. Jondri Ali dan oknum pimpinan dewan harus segera diperiksa, bahkan ditetapkan tersangka jika terbukti. Jangan hanya berhenti pada level pelaksana teknis. Jika aparat penegak hukum serius, maka semua dalang politik di balik dana siluman PJU harus diseret ke meja hijau,” tegas Aldi.
Kasus PJU Kerinci adalah alarm keras bagi demokrasi lokal. Ketika aspirasi rakyat dipelintir menjadi justifikasi untuk mark-up, maka yang tersisa hanyalah pembangunan semu. Lampu-lampu mungkin dipasang, tetapi gelapnya hati nurani politik justru makin terasa.
0 Komentar