Hasil pantauan awak media di beberapa titik lokasi parkir menunjukkan bahwa petugas parkir memungut biaya yang bervariasi. Untuk kendaraan roda dua, tarif parkir yang dikenakan mencapai Rp5.000, sementara untuk kendaraan roda empat mencapai Rp10.000.
Padahal, dalam Perda No. 1 Tahun 2024 tentang Retribusi Parkir, telah ditetapkan bahwa tarif parkir untuk kendaraan roda dua adalah Rp1.000, dan untuk kendaraan roda empat sebesar Rp2.000. Peraturan ini bahkan dipublikasikan melalui spanduk besar yang dipasang oleh Dinas Perhubungan (Dishub) di berbagai lokasi parkir.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan adanya ketidaksesuaian yang memicu pertanyaan serius mengenai penerapan Perda tersebut. Apakah aturan ini benar-benar diterapkan atau hanya formalitas tanpa pengawasan dan tindakan nyata dari Pemerintah Kota Sungaipenuh?
Afif Iman Rohim, Mahasiswa Hukum IAIN Kerinci, turut menyoroti adanya praktik-praktik yang menyimpang dari Perda tersebut tanpa adanya tindakan tegas dari pihak pemerintah.
“Perda No. 1 Tahun 2024 sudah jelas mengatur tarif parkir, tetapi kenyataannya di lapangan justru berbeda. Petugas parkir memungut biaya parkir jauh di atas ketentuan Perda. Kejadian ini seakan-akan membuat Pemkot tutup mata. Pemasangan spanduk di lokasi parkir hanya menjadi formalitas tanpa ada tindakan nyata. Pemerintahan baru tidak berbeda dengan yang sebelumnya, tidak mampu mengatasi masalah parkir yang terus berulang setiap tahun,” ujar Afif.
Afif menambahkan bahwa jika masalah ini tidak segera diatasi, kepercayaan masyarakat terhadap regulasi yang dibuat akan terus menurun.
Dari sisi hukum, praktik parkir yang tidak sesuai Perda ini dapat dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli). Jika disertai dengan unsur pemaksaan atau melibatkan oknum tertentu, maka tindakan tersebut juga dapat dianggap sebagai pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP dan penyalahgunaan wewenang menurut UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Jika Perda sudah jelas mengatur tarif parkir tetapi masih ada oknum yang menaikkan tarif secara sepihak, ini merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang merugikan masyarakat,” tambah Afif.
Sebagai mahasiswa, Afif mendesak agar pemerintah daerah segera mengambil tindakan tegas untuk memberantas segala bentuk praktik yang menyimpang dan selama bertahun-tahun menyebabkan keresahan masyarakat.
Warta Satu/Heru
0 Komentar